Dr. Usmar, SE.,MM. (Ist) |
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN) No.1 Tahun 2021 Tentang Sertipikat Elektronik, terbit 12 Januari 2021, dan dicatat dalam berita Negara Nomor 12 tahun 2021.
Harus diakui, ini bentuk terobosan setelah melihat pentingnya kemanan dan perlindungan dokumen pentingnya tentang status hak atas tanah. Akan tetapi, pada saat yang sama juga menimbulkan keresahan di masyarakat.
Berbaurnya beragam problema yang sedang dihadapi masyarakat, antara sedang sulitnya mencari rezeki memenuhi kebutuhan ekonomi dan pandemi Covid yang makin menjadi-jadi, lalu diperparah oleh narasi negatif tentang hal ini di media sosial (medsos), melahirkan tanda tanya besar: "Apakah E-Sertifikat ini sebuah tragedi atau solusi?"
Pertanyaan lanjutannya adalah, "Apakah E-Sertipikat ini hanya upaya sebatas terbitnya legalitas lahan dan sertifikasi, dan memenuhi ambisi pemerintah menaikkan agregat sertifikasi tanah? atau memang sedang berupaya ingin menyelesaikan konflik yang terjadi di sektor agraria ?
Kasus Agraria
SESUNGGUHNYA, pertanyaan yang muncul dimasyarakat tersebut dapat dipahami, kalau kita melihat kasus sengketa tanah dan lahan yang banyak terjadi di berbagai sudut negeri ini.
Berdasarkan data dari Komnas HAM dalam 5 tahun terakhir, Luas konflik sektor agraria ini mencapai 2.713.369 hektar tersebar di 33 provinsi. Di antaranya 42,3% atau 48,8 juta jiwa penduduk desa yang berada dalam kawasan hutan.
Belum lagi, kasus sering terjadinya pemalsuan kepemilikan surat sertifikat tanah dalam pemilikan perorangan dah bahkan sertifikat ganda.
Idealnya saat ini, pembenahan sektor agraria menemui momentum yang tepat, karena program unggulan pemerintahan Jokowi di periode kedua ini ingin reforma agraria dan perhutanan sosial sebagai salah satu program prioritas. Tujuannya untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan lahan hingga mengurai konflik agraria.
Jika ingin menyelesaikan persoalan agraria secara fundamental, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah restrukturisasi penguasaan tanah dan distribusi kepemilikan.
Langkah restrukturisasi itu penting karena hakikatnya tata nilai yang melandasi hukum tanah Indonesia adalah komunalistik yang religius yang kemudian bergeser menjadi individualistik dan kapitalistik. Sehingga, dalam penguasaan dan pemilikan lahan terjadi ketidakadilan.
Oleh karena itu, jika kebijakan E-sertifikat ini adalah sekadar menaikan agregat sertifikasi tanah, dengan mempermudah melalui kebijakan E-Sertifikat tersebut, maka kebijakan sektor agraria itu, sungguh menyedihkan dan ini dapat dimaknai sebagai tragedi sosial.
Teknologi Digital
DI era kemajuan teknologi informasi (TI) saat ini, jika kita ingin mengarah kepada "Good Governance", maka Integrasi ke 'Big Data Tunggal' (BGT) menjadi syarat penting. Dengan kita melakukan migrasi besar-besaran ke BGT (single identity number), maka persoalan tumpang tindih data, persoalan pajak, kependudukan dan sebagainya dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat.
Sebenarnya kalau kita telusuri, ada empat layanan di Kemenetrian ATR/ BPN yang sudah diintegrasikan dalam layanan elektronik, yaitu Hak Tanggungan Elektronik (HT-el); Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT); Pengecekan Sertifikat Tanah; serta Informasi Zona Nilai Tanah (ZNT).
Jadi, manakala terjadi kehebohan di masyarakat ketika akan dan telah keluarnya Permen ATR/BPN No.1 tahun 2021 tentang E-Sertifikat, hanyalah menggambarkan belum tersosialisasikannya secara maksimal kebijakan yang berbasis elektronik tersebut.
Kekuatiran masyarakat yang muncul dari narasi yang tersebar di sosmed, bahwa BPN akan menarik sertifikat analog yang dipegang masyarakat untuk diganti dengan E-Sertifikat, tanpa penjelasan yang komprehensif, tentu sangat wajar jika masyarakat menjadi resah dan gelisah.
Penyebabnya, persoalan kepemilikan tanah adalah persoalan sosial, kultural dan persoalan kehidupan, bukan hanya sekedar berhenti pada persoalan administrasi pencatatan saja.
Kalau kita membaca Bab II Tentang pelaksanaan sistem elektronik pendaftaran tanah di pasal 2 ayat 4, dari Permen ATR/BPN No.1 tahun 2021 tersebut, bahwa “Pelaksanaan pendaftaran tanah secara elektronik diberlakukan secara bertahap yang ditetapkan oleh Menteri”, lumayan dapat memberikan sedikit kelegaan, meski masih menyisakan pertanyaan, dimaksud bertahap itu maknanya apa ? kapan dan bilamana itu diterapkan ?
Penegasan informasi yang disampaikan Humas BPN, bahwa Kantor Pertanahan TIDAK akan menarik sertipikat tanah yang sudah dipegang oleh masyarakat, melainkan sertipikat analog yang dipegang oleh masyarakat tersebut dapat diajukan menjadi sertipikat elektronik. Artinya disini ada pemahaman bahwa dengan keluarnya Peraturan menteri ini, tidak berarti semua sertipikat tanah yang dipegang masyarakat harus serta merta diubah menjadi E-Sertipikat. Dan ini dapat kita lihat di Bab III Pasal 6 Permen ATR/BPN.
Di era digital saat ini, dengan keterbukan informasi, dari sisi positifnya memang E-Sertifikat dapat memberikan jaminan kepastian hukum, dengan meminimalkan pemalsuan dan duplikasi, serta minimal mengurangi misinformasi yang sering menyebabkan terjadinya sengketa dan konflik agraria.
Akan tetapi, dari sisi negatifnya bahwa dengan kemampuan dan kecanggihan para hacker dan lain sejenisnya dalam penetrasi ke situs-situs penting, dapat memberikan ketidak nyamanan dan kekuatiran dari masyarakat.
Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN masih perlu terus memberikan edukasi kepada masyarakat dan menjelaskan jaminan bahwa tingkat keamanan kepemilikan E-Sertipikat atas tanah yang mereka punya sangat aman bukan hanya sebuah retorika semata, tetapi nyata adanya.
Dengan demikian, E-Sertipikat dapat meningkatkan registering property yang muaranya terjadi peningkatan atas peringkat "Ease of Doing Business" negara kita, adalah bentuk komitmen dan kontribusi masyarakat terhadap negaranya, adalah sebuah solusi.
Moga, ini cuma sindrom "barang baru"!
Oleh: Dr. Usmar, SE.,MM.
Kepala Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama), Jakarta. & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional.