Gusmanedy Sibagariang Amd (ist) |
Undang-Undang Pers secara tegas melarang segala bentuk upaya pembredelan Pers. Penghapusan Surat Izin Usaha Perusahaan Pers (SIUPP) adalah salah satu bentuk atau upaya untuk menghilangkan bentuk pembredelan terhadap kebebasan Pers.
Dengan dihapuskannya pemberlakuan SIUPP, apakah benar Pers benar-benar bebas dari pembredelan walaupun sudah tidak lagi ada SIUPP dan adanya UU Pers?. Atau jangan-jangan ada modus terselubung atau pembredelan gaya baru.
Pada era reformasi saat ini membuahkan yang namanya otonomi daerah. Penerapan otonomi daerah berdampak pada pengelolaan keuangan secara mandiri oleh daerah-daerah. Hal itu akhirnya membuat Kepala Daerah sebagai penguasa atau raja-raja kecil.
Sementara itu disisi Pers, semakin banyak tumbuh subur media massa di daerah-daerah.
Sayangnya, pertumbuhan media massa ini tidak diimbangi dengan kekuatan modal pemilik perusahaan Pers.
Akhirnya mau tidak mau, banyak perusahaan Pers lokal menggantungkan pemasukan dari kerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam bentuk pemberitaan permintaan penguasa, advertorial, iklan dan kerjasama lainnnya.
Ketergantungan pada kerjasama ini berdampak buruk bagi Pers. Media massa atau Pers kehilangan fungsinya sebagai sosial kontrol.
Pemerintah Daerah dengan mudah mengontrol media massa yang hanya menggantungkan pemasukan dari iklan dan langganan Pemerintah.
Jika dirasa ada pemberitaan yang kritis terhadap kinerja Pemerintah, Kepala Daerah melalui Kadis Kominfo tidak segan-segan mencabut kerjasama dengan media. Cara ini ampuh ditempuh pemangku kekuasaan untuk membungkam Pers lokal.
Media-media lokal dihadapkan pada dua pilihan. Memilih untuk tetap menjalankan fungsinya sebagai pemantau kekuasaan dengan resiko kehilangan iklan atau kerjasama yang bisa berdampak berhentinya operasional?
Atau memilih menjadi budak penguasa dengan pemberitaan yang menjilat pantat si penguasa?
Sikap Kepala Daerah yang tipis kuping terhadap kritik di media massa mengancam keberadaan media massa lokal.
Jika semua Kepala Daerah mencabut iklan dan langganan, bukan tidak mungkin koran lokal yang banyak bergantung pada iklan dan langganan Pemerintah habis digilas kesombongan kekuasaan.
Bila pembredelan adalah sebuah sikap penghentian penerbitan dan peredaran media massa secara paksa, apakah sikap Kepala Daerah mencabut kerjasama dan langganan karena pemberitaan kritis yang mengakibatkan gugurnya media lokal, bisa disebut sebagai bredel gaya baru?
Sering kali pemutusan kontrak kerjasama terhadap perusahaan media lokal dilakukan, ketika media yang dimaksud sering mengangkat pemberitaan yang sifatnya mengkritisi kinerja Pemerintah.
Hal ini sepertinya menjadi konsekuensi yang harus diterima oleh perusahaan Pers lokal, yang sering kritis terhadap kinerja Pemerintah yang dianggap menyalahi aturan.
Padahal sudah semestinya media, atau perusahaan Pers menjalankan fungsi sebagai sosial kontrol, untuk menyajikan pemberitaan yang akurat akuntabel sesuai Fakta.
Karena salah satu tugas media ialah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Sudah saatnya media harus bangkit dari keterpurukan, bangkit dari pembredelan gaya baru, yang coba-coba dilakukan oleh sekelompok orang untuk menggilas kebenaran.
Pers adalah suara kebenaran, yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
#SALAMKEBEBASANPERS
Oleh : Gusmanedy Sibagariang Amd.
Pemimpin Redaksi Independennews.com