Suryadi (ist) |
Pada banyak penampilan sering ditemukan petinggi militer dan polisi, tegap gagah berseragam dilengkapi oleh tongkat komando (Tokom). Ini umum di negara-negara di dunia.
Demikian pula di Indonesia. Tetapi, ada pula Panglima, Komandan atau Kepala yang menenteng Tokom terbatas hanya pada momen seremonial. Mereka bermaksud agar interaksi sosial baik ke dalam maupun dengan masyarakat menjadi tidak terbatasi. Agaknya,
pas dengan semangat lebih mengedepankan sosok polisi yang lebih ‘civilize’ daripada sebelumnya.
BENTUK Tokom dalam pengertian ukuran, warna, dan asesorisnya berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, baik militer maupun petinggi sipil seperti pada kepolisian dan kejaksaan.
Proklamator dan Presiden I RI, Ir. Sukarno (alm), yang bukan militer, saat tampil mengenakan ‘baju kebesaran’ sering dilengkapi Tokom. Sebagaimana Presiden-presiden berikutnya, ia adalah Kepala Negara RI yang juga Panglima Tertinggi (Pangti) militer di negeri ini. Gagah nian!
Tentu, ada aturan main untuk itu, meski bukan setingkat undang-undang. Mulai dari pangkat, pejabat setingkat apa, bagaimana bentuknya, sampai kepada kapan atau momen apa saja, sepantasnya si petinggi tampil menenteng tokom.
Kapolri (2016 – 2019) pada 22 Juni 2018 mengeluarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (PKNRI) No. 8 Tahun 2018. PKNRI yang merupakan perubahan kedua atas PKNRI No. 19 tahun 2015 tentang “Pakaian Dinas Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Isinya antara lain mengatur Tokom digunakan oleh Kapolri dan Pejabat Polri di tingkat pusat dan daerah. Penulis tidak membahas hal-hal terkait dengan aturan penggunaan Tokom. Biarlah ahlinya saja.
Polri kini adalah sipil. Tapi, Polri tetap mempraktikkan disiplin ketat ke dalam, demi tampil lebih melayani masyarakat. Maksudnya, agar Polri punya modal kuat untuk tujuan memberi pelayanan terbaik secara humanis di saat menjabarkan kewenangannya dalam menjalankan fungsi dan tugas pemeliharaan kemanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas). Catatan pentingnya, itu semua tetap dalam bingkai pelayanan dan penegakkan hukum (gakkum). Ini sungguh suatu formulasi yang tidak sederhana. Minyak dan air ‘diblend’ ke dalam satu kesatuan diri, agar benar-benar tampil sebagai pelayan terbaik bagi masyarakat. Di satu sisi, di tingkat internal menjadikan disiplin ketat kental ‘komando’ sebagai kebiasaan sehari-hari, tapi pada saat yang sama memberikan pelayanan terbaik dan humanis kepada masyarakat (eksternal).
Humanis, menurut J.S. Badudu, dapat dipadankan dengan “orang yang yang mengabdi kepada kepentingan sesama manusia” (2003: 144). Terasa ambilvalen, memang. Tetapi, itulah reformasi membongkar secara kultural sehingga dapat berubah. Masa kini akan menjadi masa lalu. Tapi, ketika masa lalu dan “masa kini yang telah menjadi masa lalu” ternyata tetap buruk seperti di masa lalu, apa jadinya dengan Polri di masa mendatang? Setidaknya, menjadi tak ada perubahan. Ali Akbar dalam “Sembilan Ciri Negatif Manusia Indonesia” menulis, “Ciri buruk yang kini dimiliki, berdasarkan konsep kebudayaan, akan diturunkan ke generasi berikutnya, sehingga gambaran masa depan Indonesia mirip seperti masa kini (2011: 144). Artinya, bukan mustahil di masa depan akan menjadi lebih buruk lagi.
Pemaham dunia tentang polisi adalah polisi profesional, yaitu polisi yang tak lain adalah polisi dengan dua wajah tadi. Sosiolog hukum kenamaan, (alm) Prof. Satjipto Rahardjo menggambarkan, profesionalisme Polri sangat ditentukan oleh esensi doktrin yang dianutnya yang mengarah kepada pengayoman, “caring” dan sebagainya. Doktrin polisi yang sudah menjadi universal adalah doktrin sipil yang intinya adalah melindungi rakyat. Satjipto menunjuk semboyan Polisi Amerika “to Protect and to serve” (“melindungi dan melayani”), sedangkan Polisi Belanda, “Vigilat ut Quiscant” (“kami berjaga agar setiap orang dapat bersitirahat”). Tugasnya bukan untuk “menghadapi rakyat”, melainkan “berjabat tangan dengan rakyat” (Asy’ari, ed, 2002: 230).
Sekali lagi, sungguh memerlukan pembiasaan yang mustinya sudah dimulai dari dalam sejak kemarin-kemarin ketika reformasi 1998 dimulai, atau setidaknya segera setelah UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian diundangkan. Undang-undang ini memisahkan dua kultur yang berbeda secara ekstrem, militeristik dan “civilize”, pemisahan Polri dari TNI. Dengan tetap menggunakan disiplin yang ketat ala satu komando, tetapi tak bisa ditunda-tunda pada saat yang sama ke dalam lebih dahulu membiasakan bersikap melayani. Dengan begitu, diharapkan muncul kebiasaan yang bukan sandiwara. Psikolog terkemuka, (alm) Prof. Sarlito mengingatkan, “Perilaku atau perbuatan manusia itu tidak terjadi secara sporadik (timbul dan hilang begitu saja), tetapi selalu ada kelangsungan (kontinuitas) antara satu perbuatan dengan perbuatan berikutnya” (2019: 52). Orangtua bijak sering pula mengingatkan kepada anak-anaknya, “Segala sesuatu itu dimulai dari rumah.”
Polisi itu memang sudah dari “sononya” adalah sosok “dua wajah”. Tentang hal ini, Satjipto menggambarkan, polisi merupakan bagian dari birokrasi, yang paling intensif melakukan pertukaran dengan lingkungan sosialnya. Hal itu karena dalam menjalankan tugasnya, polisi bergaul sangat intensif dengan orang-orang di sekelilingnya (Asy’ari, ed. 2002: 147). Secara sederhana, Irjen Pol. Tomsi Tohir (Kapolda Banten, 2018 – 2019) dalam Menjalankan Kepemimpinan Kepolisian Berbasis Silaturahmi di Banten menggambarkan, “…dalam kehidupan sehari-hari, apa yang tidak menjadi urusan polisi? Orang mau tidur, dia patroli. Malam rumahnya kecurian, ketemu lagi dengan polisi. Nganter anak ke sekolah ketemu polisi. Mau daftar apa-apa perlu SKCK, ketemu polisi. …Frekuensi masyarakat ketemu polisi itu tinggi. Jadi, masyarakat paling mudah memotret institusi polisi” (Suryadi dkk, 2019: 45). Kian jelas lah sosok polisi. Selain merupakan bagian dari birokrasi, polisi juga sosok manusia yang intens bersama masyarakat lengkap dengan ragam persoalan. Tulisan ini mencoba membahas Tokom sebagai sebuah simbol pemimpin di Polri.
Jalan Tengah JUMLAH anggota Polri kini sekitar 500 ribu orang, mulai dari seorang jenderal bintang empat sampai kepada mereka yang terendah berpangkat bhayangkara dua (bharada di Brimob). Mereka tersebar mulai dari Markas Besar (Mabes) Polri, Kepolisian Daerah (Polda), Kepolisian Resor (Polres) di kabupaten/ kota), Kepolisian Sektor (Polsek) di kecamatan, sampai Bhintara Pembina Keamanan Ketertiban Masyarakat Desa (Bhabinkamtibmas) di desa/ kelurahan, dan di lingkungan Korp Brimob (polisi dengan kapasitas tempur tertentu).
Serupa dengan instansi pemerintahan umumnya, meski bersifat langsung melayani masyarakat, makin berhadapan langsung dengan masyarakat, jumlah personel Polri makin menciut. Penumpukan personel terjadi pusat-pusat seperti Mabes Polri, Polda, dan Polres. Akibatnya, antara lain pengerahan sejumlah personel ke wilayah atau daerah-daerah sering dilakukan mendadak sesuai dengan skala kebutuhan kejadian seketika. Selayaknya, bila keberadaan polisi adalah pada area setempat, kehadirannya tidak akan lebih cepat saat tiba di lokasi kejadian. Kondisi ini, tentu selain membutuhkan “satu komando” pergeseran, juga tenggat waktu yang lebih berjarak, dan rupiah lebih besar.
Tentang sebutan “Kepala” untuk sejumlah pemimpin Polri sudah dimulai sejak 1990-an. Kini penggunaan Kepala terasa lebih merata dan konsisten. Perubah itu terjadi seiring pemisahan Polri dari TNI. Semua pimpinan menggunakan sebutan “Kepala”. Pada kurun masa sebelumnya, pimpinan tertinggi Polri pernah Menteri Muda/ Kepala Kepolisian Negara (Menmud/ KKN), tapi pejabat bawahannya menggunakan nomenklatur Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak). Ada pula Komandan Wilayah (Danwil) di satu provinsi. Bahkan di tingkat Resort disebut Komandan Resor (Danres) dan Komandan Sektor (Dansek) Kepolisan untuk (satu atau dua) kecamatan. Juga, demikian dengan mereka yang menjadi pemimpin satuan fungsi, digunakan sebutan Komandan Satuan (Dansat).
Ada satu hal yang tidak berubah pada beberapa pimpinan termasuk Kapolri, Kapolda, Gubernur Akpol, Gubernur PTIK, dan Kapolres, serta Kepala Korp Brimob berikut Kepala bawahannya. Dengan Tokom di tangan, penampilan mereka masih mengesankan seorang komandan. Tapi, ada beberapa di antaranya yang menenteng Tokom hanya pada acara seremoni tertentu saja seperti Hari Bhayangkara atau menghadiri udangan untuk seremonial di luar Polri.
Dari gambaran tersebut, tampak bahwa mereka yang berhak memegang Tokom adalah pemimpin Polri. Menurut Wirawan, “Pemimpin adalah tokoh atau elit anggota sistem sosial yang dikenal oleh dan berupaya memengaruhi para pengikutnya secara langsung atau tidak langsung” (2013:9). Dalam menjalankan fungsinya, pemimpin melalui suatu proses kepemimpinan. Untuk itu, Wirawan menyatakan, “Diperlukan waktu. Lamanya tergantung pada situasi, latar kepemimpinan, kualitas kepemimpinan, dan kualitas pengikut” (2013: 7). Hadari dan Martini yang melihat pemimpin dalam suatu organisasi menulis, “Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan/ kecerdasan mendorong sejumlah orang agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama” (1992: 9).
Polri merupakan organisasi besar yang komandonya ada dalam satu rentang garis dari seorang Kepala (baca: pemimpin tertinggi) Polri. Kapolri dibantu oleh para kepala (para pemimpin) di jajaran bawahnya baik di Mabes Polri dan daerah-daerah. Oleh negara, para pemimpin Polri diberi wewenang, kekuasaan, fungsi dan tugas-tugas pokok (UU No.2 tahun 2002), sesuai tingkatan tanggungjawab masing-masing. Semua tugas diharapkan berjalan dalam satu sinergi sebagai satu institusi yang bermuara pada hadirnya Polri sebagai representasi negara berpemerintahan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Tentang kekuasaan, terdapat banyak pandangan yang berbeda-beda. Namun, Miriam Budiardjo mengutip Laswell dan Kaplan mengatakan, ada satu inti yang nampak dalam satu rumusan, yaitu bahwa “Kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk memengaruhi tingkah laku pelaku lain sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan” (1986: 9).
Terkait dengan Tokom Polri, biasanya diserahkan oleh petinggi yang melantik kepada pejabat yang baru dilantik sebagai rangkaian seremoni pelantikan. Misalnya, saat Presiden melantik Kapolri baru Jenderal Pol. Drs Listyo Sigit Prabowo, M.Si. Demikian juga ketika Kapolri melantik sejumlah Kapolda seperti Kapolda Jabar, Irjen Pol. Drs. Ahmad Dofiri, M.Si., Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Dr. M. Fadil Imran, dan Kapolda Banten, Irjen Pol. Dr. Rudy Heriyanto, S.H., M.H., M.B.A. Melihat momen penyerahan Tokom, diyakini benda ini adalah simbol seorang Pemimpin Polri (sesuai tingkatannya). Selain itu juga, Tokom sebagai identitas yang melambangkan kekuasaan dan kedudukan. Polri adalah lingkungan sosial. Di dalamnya orang-orang berprofesi polisi berinteraksi sosial. Menurut Wendts, identitas-identitas sosial adalah seperangkat makna di mana seorang indvidu menyematkan makna-makna tersebut untuk dirinya sekaligus memungkinkan dirinya bertindak berdasarkan cara pandang orang (Fearon, terj. Afif, 2020: 9).
Sosiolog Sindung menulis, manusia dapat berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Manusia mampu menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol. Sementara, kebudayaan pada dasarnya terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan tindakan manusia (2013: 1). Menurutnya, makna simbol merupakan persoalan penting. Simbol merupakan pesan atau maksud yang ingin disampaikan atau diungkapkan oleh ‘creator’ simbol. Sebagai komunike ide, simbol merupakan media atau alat bagi sang ‘creator’ untuk menyampaikan ide-ide batin agar dapat dipahami atau bahkan dapat menjadi pedoman perilaku (code of conduct) bagi orang lain. Sebagai contoh, simbol “cabai merah” yang merupakan salah satu materi dalam gunungan kakung pada upacara Gerebeg Keraton Yogyakarta yang memiliki makna “Satria Utama” mengandung pesan agar masyarakat banyak memiliki sifat atau karakter layaknya kesatria utama seperti jujur, berani, dan tanggung jawab (2013: 7).
Membaca rangkaian pemimpin, kepemimpinan, kekuasaan, kewenangan, fungsi, tugas serta pemberian Tokom pada para pemimpin Polri, sangat terasa bahwa Tokom menjadi simbol. Di dalamnya terkandung makna mendalam baik bagi si pengemban amanah pemimpin, mereka yang dipimpin, serta masyarakat yang wajib diberi jaminan rasa aman dan pelayanan terbaik nan humanis dari Polri.
Tokom pada Pemimpin Polri bukan sekadar simbol hampa dan tanpa makna. Tokom sebagai simbol kewibawaan berpadu dengan kepemimpinan yang mengayomi, berbuah pada pelayanan dan penegakkan hukum yang melindungi. Akan tetapi, pada saat yang sama dengan penampilan berseragam yang cenderung berbau militer di tengah nuansa militer yang memang belum selesai pula, terasa penting ditempuh jalan tengah. Tokom sebagai suatu simbol penting untuk menggerakkan komando ke dalam untuk masuk ke dalam suatu pembiasaan yang melayani sesama anggota kelompok sosial berprofesi polisi. Pembiasaan melayani ke dalam, diyakini akan terbawa-bawa ke luar ketika memberikan ayoman dan pelayanan nan humanis kepada masyarakat.
Jadi, ada benarnya jika para Pemimpin Polri menenteng Tokom terbatas hanya pada even-even tertentu seperti seremoni kenegaraan dan lainnya yang sesuai dengan ketentuan pengunaannya. Termasuk, pemaknaan simbolik saat meluncurkan komando ke dalam. Mereka bermaksud agar tidak terlalu berjarak dengan anggota sendiri, dan pada saat yang sama dapat berinterkasi sosial sefektif mungkin dengan masyarakat.
Dari suasana semacam itu akan muncul suasana dialogis dan terbuka. Mungkin akan seperti yang diungkap psikolog Sawitri kurang lebih begini: seseorang akan asertif (tegas) mengekspresikan pikiran-pikiran, perasaan, dan keyakinan-keyakinan yang ada dalam dirinya dengan cara langsung melalui ungkapan verbal, jujur, dan dengan cara nyaman, tanpa mengabaikan orang lain (2005: 6 – 7). Dalam interaksi sosial yang tak terlalu terbatas-batasi oleh “tembok yang berkuasa dengan yang dikuasai”, rasanya memang akan banyak hal yang bisa digali. Inilah pembiasaan masuk ke dalam kemauan saling mendengar. Kemandegan akibat pembelengguan kreativitas termasuk kreativitas berpikir, berpotensi apatisme. Sungguh bernilai! **
Oleh Suryadi,
Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)