Timnas sepakbola Indonesia lawan Thailand. Menarik. Euforia kemenangan di depan mata. Sama dengan lima final di Piala AFF dulu. Namun, hasil torehan kita sungguh buruk. Ada dua faktor penentu kemenangan.
Tiga kali Indonesia keok lawan Gajah Putih di Piala AFF. Sekali dibabat Malaysia. Lawan Singapura minder: hanya karana ada dua bule Fakhrudin dan Bennet. Jadi lima kali kalah di final piala AFF.
Cerita mitos kehebatan Timnas Indonesia zaman abad 20 hanya mitos. Malah membebani anak-anak Gen-Z. Tentang mampu menahan Uni Soviet. Era Hindia Belanda pernah main di Piala Dunia Prancis. Zaman sekarang, sejak saya lahir tidak pernah melihat kehebatan Timnas Indonesia.
Cinta Timnas Indonesia. Jelas. (Tahun 2013 nonton bola sama Anas Urbaningrum di Gelora Bung Karno. Saya nanya ke Anas. Akan lolos dia dari jerat hukum? Dan, Anas yakin lolos dari kriminalisasi SBY dan M. Nazarudin.)
Pertandingan Timnas saya tonton langsung di Gelora Bung Karno. Termasuk saat Timnas U-19 ngalahin Korea 3-2 di Stadion Gelora Bung Karno. Level bocah.
Timnas senior hanya pernah juara Sea Games. Abad ke-20. Tahun 1991. Semifinal Asian Games 1986 diduga keok ama mafia. Anak-anak Indonesia Gen-Z pada belum lahir.
Sementara Thailand, Malaysia, Singapura (bahkan Myanmar) bagai hantu menakutkan bagi Indonesia. Mereka pernah juara Piala AFF. Walau AFF cuma level RT Asean. Tak masuk kalender resmi FIFA.
Singapura menang 4 kali: 1998, 2004, 2007, 2012. Indonesia keok di final melawan Malaysia. Lawan Thailand? Keok juga di 2016. Vietnam pun pernah juara. 2016 mengalahkan Malaysia.
Catatan menariknya adalah Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam di final bisa saling mengalahkan. Hanya Indonesia selalu kalah di final melawan Thailand 3 kali, kalah lawan Malaysia, dan takluk lawan negara seuprit Singapura.
Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Indonesia selalu kalah di final? Timnas Indonesia dibenani sejarah masa lalu. Masih diliputi oleh kisah mitos kebesaran Timnas.
Senyatanya. Indonesia dipandang sebelah mata oleh Thailand. Malaysia. Singapura. Bahkan Indonesia dicukur Filipina 4-0 di 2004. Di level Asia. Indonesia tak dianggap sama sekali. Lah, ranking FIFA, PSSI rendah.
Kisah tentang Ramang remang-remang. Iswadi Idris juga tidak top banget. Ronny Paslah. Marzuki Alie, Ricky Yakoby, Sultan Harhara, Sutan Bhatoegana, Rully Nere, BP, Budi S, atau Robby Darwis, Ronny Pattinassarany, Bambang Nurdiansyah. Semuanya dibesar-besarkan. Tak pernah juara Asia. Piala Dunia? Mimpi.
Namun, kita terus mimpi. Sementara publik seakan dibutakan oleh para mafia bola. Mafia bola (dulu: sekarang tak tahu) ada di PSSI. Maka bandar mengatur dengan mafia.
Penjudi dan mafia bola menang besar setiap kali Indonesia masuk final di Piala AFF. Maka lima kali keok. Apakah yang keenam Timnas keok lagi?
Bagi saya, soal teknis. Melihat anak-anak main di Singapura pekan ini, mantap betul Timnas Indonesia. Pelatih Shin Tae-yong adalah jaminan mutu.
Namun soal mental sangat buruk. Ketika di final. Kisah Timnas Indonesia yang selalu kalah lawan Thailand mirip Korea Selatan yang hampir selalu kalah lawan Iran.
Namun, berkat tangan dingin Shin Tae-yong Korsel menahan Iran, Korsel lolos ke Piala Dunia 2018 Russia.
Kini, apakah Timnas Indonesia masih takluk melawan Thailand? Dengan taktik dan skills mumpuni. Dengan Thailand kehilangan bek kuat Theerathon Bunmathan dan penjaga gawang Chatchai Budprom. Masih takluk pula?
Menurut saya. Ada dua faktor penyebab Timnas jeblok. Mafia bola dan mental kalah sebelum dan selama pertandingan.
Akibatnya. Timnas suka keok kontra Singapura negeri seuprit. (Di semifinal Timnas Indonesia nyaris keok). Atau negeri Malaysia perebut Sipadan-Ligitan. Lawan Gajah Putih suci Thailand kalah baik doa maupun usaha.
Melihat catatan itu. Timnas Indonesia pasti menang melawan negeri pemilik lady-boys tercantik sejagad Thailand. Syaratnya: mafia tidak main dan jangan kalah sebelum dan selama bertanding. Semoga!.
Penulis dan Pegiat Medsos