Ilustrasi. |
Jakarta - Nama Puan Maharani masuk trending topic Twitter pada Rabu, 8 Desember 2021. Hingga pukul 20.00 WIB, terpantau jumlah cuitan mencapai 24,5K. Pada hari sama, akun @txtdrpemerintah banjir komentar yang menuduhnya salah satu buzzer Puan. Apakah mungkin ada tangan maya yang bergerak di balik fenomena trending topic “Puan” di Twitter?
Akun txtdaripemerintah mendapat banyak pesan “nyinyir” setelah mengunggah postingan berita “pro-pemerintah” yang sebelumnya sangat jarang dilakukan. Diketahui, akun dengan jumlah pengikut 457,3K ini terkenal dengan cuitannya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Perubahan tersebut pun tak pelak menuai pro dan kontra.
Pada tanggal sama, akun itu pun menuliskan permohonan maaf. Dia mengaku melakukan hal itu karena terikat kontrak dengan pihak anonim.
“Maaf kehack bosque,” cuitnya.
“Alias dah bebas dari kontrak, maafkan betrayal ini, ga lagi lagi kok,” lanjut akun tersebut.
Unggahan itu pun telah mendapatkan setidaknya 156 retweets, 960 quote Tweets, dan 1.653 likes. Komentar netizen pun bermacam-macam.
“Gak apa-apa min, kata gue mah udah sekalian ambil sikap di sisi Pemerintah atau Puan aja. Besok-besok lo ngetweet kritik pemerintah juga pasti ada aja yg ungkit masalah ini. Makanya mending sekalian jadi akun pro pemerintah, gak cuma dapet dari Puan tapi dari instansi lain juga,” tulis @mazzini_gsp.
“Iya sih bener bang, tp liat aja tar deh,” jawab txtdaripemerintah, mengomentari.
“Lumayan duit buat hidup, realistis aja. Urusan yg lain mah bodo amat, apalagi duit. Duit nomer satu. Gk ada duit gk makan,” komen @SwipeMatch dalam thread sama.
“Uda dpt brp min? makanya min @txtdrpemerintah kalo jalan liat kiri kanan jgn liat baliho puan maharani,” kata akun @wahilangotak.
Banyak pula komentar yang mengaitkan kejadian itu dengan Puan. Sebagian warganet curiga Puan Maharani menggunakan jasa buzzer untuk mendongkrak popularitas digitalnya.
“Sebenernya, dari sini kita tau kalo si ibu ‘kepakan sayap’ itu pake buzzer buat dongkrak namanya. So dengan cuitan ini secara tidak langsung nama bu puan tambah jatuh juga. Nice info lah. Jangan pilih dia pokoknya,” tulis akun @strangerstuvw.
Bahkan, salah satu komentar justru menceritakan pengalaman pribadinya sebagai mantan buzzer politik saat Pilpres 2014. Dia sendiri mengaku sudah tak mau lagi bergelut di bidang itu.
“Sans aja sih.. Gua juga pernah ambil job 5tahunan kok, malah masang 2 kaki..
Dari Si A gua ambil Dari si B gua ambil tinggal mainin narasi di 2 akun berbeda dan 2 group berbeda tapi itu di 2014 sekarang ga lagi, udah tobat kasian aja sih gegara narasi malah bikin kubu2an,” cuit akun @DikaZicaedmon.
Yang menarik, tak lama kemudian muncul akun yang mirip namun sedikit berbeda nama, yakni @Txtdrpemerinta, dengan nama akun lengkap “txtdaripemerintah #BukanBuzzerKepakSayap”. Pada bio pun tertulis “Akun asli bukan txtdaripuan”.
Akun tersebut juga sempat mengomentari akun @txtdrpemerintah sebelumnya dengan menulis, “Alah bohong! entar juga bakal dapet kontrak lagi”.
Fenomena buzzer politik
Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada tahun 2017 pernah melakukan riset soal sejarah buzzer secara keseluruhan di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan buzzer di media sosial masih dianggap sebagai hal yang lumrah dan mereka biasa dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk.
Namun, maknanya menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik sehingga memberikan citra yang tidak bagus di mata khalayak. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Meski demikian, kini kehadiran buzzer di jagat maya dianggap lumrah seiring perkembangan teknologi, terutama pasukan siber politik memang sengaja dipelihara sejalan dengan dinamika kehidupan bernegara saat ini.
Pengamat Telekomunikasi Heru Sutadi menjelaskan buzzer terbagi menjadi dua kategori. Pertama disebut buzzer bayaran atau komersil dan kedua tidak dibayar atau organik.
"Nah, biasanya yang dibayar ini nggak jelas dan yang tidak dibayar sebaliknya, misalnya ada tokoh yang buat status di Twitter lalu di retweet secara suka rela,” ungkap Heru kepada awak media.
Menurut dia biaya memelihara buzzer politik tidak murah. Heru menyebut mengelola buzzer politik biayanya sampai miliaran rupiah sesuai kontrak yang disepakati antara pengelola buzzer dengan pengguna jasa.
Untuk melancarkan aksi pasukan buzzing menggunakan akun-akun palsu yang jumlahnya bisa sampai jutaan akun.
"Nah, kalau digerakkan oleh tim biayanya cukup besar dan tergantung kontrak, isu dan topik yang harus diangkat. Itu bisa sampai miliaran," ujarnya.
Penulis : PIS