Foto Istimewa. (Dok: Pribadi) |
JAKARTA - Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurrachman menyerahkan buku 'Dudung Abdurachman. Membongkar Operasi Psikologi Gerakan Intoleransi' kepada Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Dalam buku yang ditulis oleh Raylis Sumitra tersebut, Jenderal Dudung, Habib Luthfi, hingga The Master of Intelligence Jenderal TNI (purn) Hendropriyono menekankan bahwa setiap elemen bangsa harus memegang teguh nilai-nilai Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Keempatnya merupakan kekuatan yang telah menjaga bangsa Indonesia tetap berdaulat.
Sejak tahun 2004, MPR RI merangkum keempat kekuatan tersebut dalam Empat Pilar MPR RI. Menjadikannya sebagai vaksin ideologi untuk memperkuat imunitas bangsa menghadapi virus radikalisme dan berbagai virus ideologi lainnya yang berusaha merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
"MPR RI bersama TNI-AD sepakat untuk terus bergotongroyong mensosialisasikan Empat Pilar MPR RI ke berbagai elemen bangsa. Keterlibatan TNI sangat penting sebagai penjaga kedaulatan NKRI dalam menghadapi kelompok intoleran yang terkadang berujung kepada gerakan terorisme. Mengingat diera modern seperti saat ini, berbaurnya ancaman militer dan non-militer telah mendorong terciptanya dilema geopolitik dan geostrategis global yang sulit diprediksi dan diantisipasi. Konsepsi mengenai keamanan nasional tidak lagi bersifat kasat mata dan konvensional. Melainkan bersifat kompleks, multidimensional, serta berdimensi ideologis," ujar Bamsoet usai menerima kunjungan silahturahmi KSAD Jenderal Dudung Abdurachman, di kantor pribadinya di Jakarta, Selasa (1/2/22).
Ketua DPR RI ke-20 sekaligus Mantan Ketua Komisi III DPR RI Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, ancaman yang bersifat ideologis tersebut hadir dalam berbagai fenomena. Antara lain berkembangnya sikap intoleransi dalam kehidupan beragama, hingga tumbuhnya radikalisme dan terorisme. Bahkan TNI juga menjadi lahan untuk mentransmisikan paham radikalisme. Menurut Menteri Pertahanan ke-25 Jenderal TNI (purn) Ryamizard Ryacudu pada tahun 2019, tidak kurang dari 3 persen anggota TNI terindikasi terpapar radikalisme.
"Sebelumnya, survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2018 mengindikasikan 63,07 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain. Sementara survei Alvara Research Center pada tahun 2017 mencatat setidaknya 19,4 persen Aparatur Sipil Negara (ASN) dan 9,1 persen pegawai BUMN tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Tidak heran jika hasil survei Wahid Institute tahun 2020, melaporkan bahwa sikap intoleran dan paham radikalisme mempunyai kecenderungan meningkat, dari 46 persen menjadi 54 persen," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum FKKPI dan Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, pergerakan kelompok intoleran, sebagaimana juga diungkapkan dalam buku 'Dudung Abdurachman. Membongkar Operasi Psikologi Gerakan Intoleransi', ternyata dilakukan secara sistematis dengan tujuan politis parsial. Menegaskan bahwa tujuan kepentingan umat ataupun rakyat sebagaimana yang sering digemborkan oleh kelompok intoleran, tidak lebih dari kamuflase belaka.
Litbang Kompas dalam survey yang dilakukan pada 17-19 Mei 2021 via telepon terhadap responden usia 17-34 tahun melaporkan, media sosial seperti instagram, WhatsApp, twitter dan lainnya menjadi sarana yang paling besar dalam melancarkan intoleransi, yakni sebesar 51,9 persen.
"Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2020 melaporkan, potensi Gen-Z (rentang usia 14-19 tahun) terpapar radikalisme mencapai 12,7 persen. Sementara generasi millenial (berumur 20-39 tahun) mencapai 12,4 persen. Gen-Z dan milenial menjadi sasaran empuk lantaran mereka sangat aktif mengakses internet dan pengguna aktif berbagai platform media sosial," pungkas Bamsoet. ***