Foto Istimewa. |
Jakarta, pelitatoday.com - Aktris Lola Amaria memberikan apresiasi terhadap film berkonsep dokumenter yang terbilang berbeda dari kebanyakan yang ada. Lewat film berjudul Pesantren, ia mengaku terpanggil untuk ikut memberikan gambaran pada publik tentang kehidupan hari-hari para santri selama menuntut ilmu.
Meski tak terlibat dalam proses penggarapannya, namun perempuan 45 tahun itu mengaku terpanggil untuk ikut menyebarluaskan segala informasi tentang film tersebut. Salah satu yang menurutnya menarik adalah gambaran cerita yang diangkat sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Film Pesantren ini awalnya dirilis pada 2019 dan dipertontonkan secara langsung di Amsterdam, Belanda, dalam ajang International Documentary Festival Amsterdam. Saya membawa keliling film ini 10 pesantren,” kata Lola Amaria dalam jumpa pers di Epicentrum Kuningan, Jakarta Selatan, (2/7/2022)
“Awalnya dirilis di Belanda, lalu 2020 seharusnya dirilis tapi pandemi jadi ketahan dan baru naik ke bioskop 4 Agustus mendatang dengan layar terbatas," tambah Lola.
Lebih lanjut, Lola menyebut bahwa isu dalam film Pesantren patut untuk diketahui banyak orang.
Saya saat itu bilang kalau film ini harus naik sebagai perspektif bahwa pesantren dan Islam itu berkembang dengan sangat baik,” terang Lola.
Shalahudin Siregar sutradara film Pesantren mengatakan bahwa film ini gudak mewakili pesantren secara umum di Indonesia, namun Shalahudin Siregar mengakui film Pesantren adalah gambaran umum tentang perempuan Dalam Islam
"Kalau ditanyakan apa ini mewakili citra pesantren di Indonesia, tidak hanya cerita satu pesantren yang bisa mewakili gambaran pesantren di Indonesia, tapi gambaran umum tentang perempuan dalam Islam," ujar Shalahudin Siregar.
Film Pesantren akan menunjukkan bagaimana para santri tak terkukung aturan ketat sebagaimana dikenal di masyarakat dengan menampilkan sisi kesenian dan kemajuan perkembangan zaman. Penayangan film ini diharapkan bisa mengurangi stigma pesantren adalah pusat tumbuh kembangnya radikalisme.
"Saya pernah membuat film pada tahun 2012 ketika anak perempuan dimasukkan pesantren muncul stigma itu keputusan yang salah. Karena pesantren adalah sumber radikalisme," ujarnya.
Film Pesantren ini mengisahkan dua santri dan guru muda di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, sebuah pesantren terbesar dengan 2 ribu santri di Cirebon, Jawa Barat. Pondok pesantren ini adalah pesantren tradisional pada umumnya, tetapi istimewa karena dipimpin seorang perempuan.
"Film Pesantren ini fokus pada bagaimana Islam dari sudut pandang perempuan," pungkas Shalahuddin Siregar. (Dedy Haryadi)