Foto istimewa. |
JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bersama Wakil Ketua MPR RI Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat & Daerah Lestari Moerdijat dan Fadel Muhammad menerima Ketua Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI Prof Jimly Asshiddiqie, anggota MPR RI dari Kelompok DPD RI yang juga pakar hukum tata negara. Keberadaan Forum Aspirasi Konstitusi berperan untuk memperkuat tugas MPR RI sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU MD3, khususnya yang terdapat dalam ayat D, yakni menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Hingga akhir tahun 2022, Forum Aspirasi Konstitusi akan menyelenggarakan dua kali temu pakar dan diskusi untuk menyerap aspirasi konstitusi dari berbagai kalangan. Kegiatan pertama akan diselenggarakan pada 9 November 2022 dengan tema besar 'Evaluasi Konstitusi Guna Menjamin Efektifitas Penyelenggaraan Negara dan Pencapaian Tujuan Bernegara', salah satu pembahasannya yakni tentang urgensi menghadirkan kembali Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR RI. Kegiatan kedua akan diselenggarakan sekitar Desember 2022, dengan tema besar 'Evaluasi Negara Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila', dengan salah satu pembahasannya yakni tentang penataan kekuasaan kehakiman yang merupakan bagian dari Rekomendasi MPR RI periode 2014-2019 yang diberikan kepada MPR RI periode 2019-2024.
"Berbagai kegiatan temu pakar dan diskusi tersebut merupakan bagian dari cara MPR RI 'belanja masalah', sehingga pada tahun 2023 nanti kita bisa susun berbagai langkah solusinya. Dengan demikian pada tahun 2024 di akhir masa jabatan MPR RI periode 2023-2024, kita bisa memberikan rekomendasi kepada MPR RI periode selanjutnya, salah satunya terkait urgensi menghadirkan kembali Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR RI, yang telah disuarakan berbagai kalangan seperti Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, serta Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), dan berbagai kalangan lainnya" ujar Bamsoet usai menerima Forum Aspirasi Konstitusi, di Ruang Rapat Pimpinan MPR RI, Jakarta, Selasa (1/11/22).
Turut hadir Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad. Serta pimpinan Forum Aspirasi Konstitusi antara lain Teras Narang dan Abdul Kholik.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, melalui kegiatan temu pakar dan diskusi, diharapkan dapat menjawab, mengoreksi, dan menjadi antitesis dari berbagai faktor yang melatarbelakangi dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan melalui empat kali amandemen konstitusi. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi latar belakang penghapusan Utusan Golongan pasca reformasi. Pertama, adanya pandangan bahwa pelaksanaan demokrasi langsung yang dimanifestasikan oleh pemilihan secara langsung dianggap lebih demokratis, sehingga keberadaan Utusan Golongan melalui penunjukan dianggap tidak sesuai.
"Kedua, adanya pandangan perlunya penyederhanaan sistem perwakilan, di mana hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang mewakili dua unsur representasi, yaitu representasi politik (DPR) dan representasi daerah (DPD), sedangkan representasi golongan dapat diwakili dan disalurkan melalui lembaga perwakilan yang sudah ada (khususnya DPD). Ketiga, dalam praktiknya, penunjukan Utusan Golongan oleh presiden dinilai cenderung mewakili kepentingan rezim pemerintahan yang mengangkatnya, dan bukan kepentingan rakyat atau golongan yang diwakilinya," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, melalui Forum Aspirasi Konstitusi dengan serangkaian kegiatan temu pakar dan diskusi yang diselenggarakan, diharapkan juga dapat mengidentifikasi masalah sekaligus menjawab berbagai hal seputar Utusan Golongan. Misalnya terkait siapakah yang dimaksud sebagai Utusan Golongan, serta bagaimana mekanisme serta tata cara pengisian Utusan Golongan, termasuk persyaratan untuk menjadi Utusan Golongan yang membedakannya dengan mekanisme serta tata cara pengisian anggota DPR dan anggota DPD.
"Keberadaan Utusan Golongan sudah ada sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno. Untuk melaksanakan pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pada 22 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur pembentukan MPRS, yang pada saat itu terdiri atas anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan golongan. Keberadaan Utusan Golongan juga tetap eksis pada masa pemerintahan Presiden Soeharto," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, keberadaan Utusan Golongan pada saat itu terdiri dari 13 macam golongan. Antara lain Golongan Tani, Golongan Buruh/Pegawai Negeri, Golongan Pengusaha Nasional, Golongan Koperasi, Golongan Angkatan '45, Golongan Angkatan Bersenjata, Golongan Veteran, Golongan Alim Ulama, Golongan Pemuda, Golongan Wanita, Golongan Seniman, Golongan Wartawan, dan Golongan Cendekiawan/Pendidik. Pada saat Reformasi bergulir, keberadaan Utusan Golongan dihapuskan.
"Kini berbagai kalangan seperti Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, serta Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), dan berbagai kelompok masyarakat lainnya sudah mulai menyuarakan untuk menghidupkan kembali Utusan Golongan. Untuk itulah MPR RI membentuk Forum Aspirasi Konstitusi, sebagai wadah untuk menampung berbagai aspirasi tersebut, sekaligus mengkajinya lebih dalam. Jika memang memungkinkan dan disepakati bersama, tak mustahil jika dalam keanggotaan MPR RI periode 2029 atau selanjutnya, Utusan Golongan bisa kembali hadir," pungkas Bamsoet. (*)