Kelompok Tani TDB saat berada dilahan perkebunan, Senin (2/1/2023). |
SANGATTA - Ketua Kelompok Tani Taman Dayak Basap (Poktan TDB) Pungkas menegaskan jika selama 12 tahun PT Kaltim Prima Coal (KPC) telah menguasai lahan milik kelompoknya tanpa memberikan kontribusi apapun.
"Bayangkan 12 tahun mereka (PT KPC) gunakan lahan kami untuk jalur hauling di PIT B Keraitan Bengalon, selama itu juga tak pernah ada kontribusi apapun. Padahal lahan itu sah milik kami. Pengadilan Negeri Sangatta dan Mahkamah Agung pun mengesahkan itu milik Poktan TDB. Jadi wajar jika kami minta ganti untung," ujar Pungkas.
Bahkan, Poktan TDB dihalang-halangi untuk bisa beraktivitas (berladang). Sementara PT KPC masih melenggang bebas menggunakan lahan yang bukan miliknya. Kekecewaan Pungkas pun tak sampai disitu, selain larangan mereka ke lahan, juga janji-janji yang selalu ditawarkan PT KPC.
"Kemudian ada mediasi yang difasilitasi Polres Kutim melalui Kasat Intelkam namun hasilnya deadlock. Ini kan artinya mereka tidak serius dan tidak melaporkan masalah ini ke pucuk pimpinan mereka di Jakarta," jelasnya.
Pungkas memaparkan, awalnya harga ditawarkan pihaknya 150 Miliar lalu ditawar PT KPC menjadi 10 Miliar, kemudian pihak Poktan TDB menurunkan harga jadi 80 Miliar dan ditawar lagi jadi 15 Miliar. Dari tawaran harga (80 Miliar) yang ia ajukan merupakan harga yang memang sudah sesuai. Sebab, 12 tahun lahan dikuasai korporasi besar itu, tak pernah ada itikad baik perusahaan untuk berdamai dan bernegosiasi yang sekiranya masuk di akal.
"Kami terdiri dari 26 orang anggota dan sembilan tim inti dari penasihat sampai korlap. Lucunya kami datang ke lahan disebut menghalangi aktifitas tambang. Padahal jelas itu lahan milik kami sesuai putusan nomor putusan 3475 K/PDT/2022 (bisa cek di google). Lalu mereka yang masih bebas menggunakan lahan kami itu disebut apa," paparnya.
Dari nilai yang ditawarkan, Pungkas membeberkan bahwa selama ia berjuang menempuh jalur hukum tak sedikit biaya yang dikeluarkan. Bahkan ia rela berhutang kesana kemari demi mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Apalagi harga itu sudah sangat sesuai bila dihitung dari masa pemakaian lahan selama 12 tahun dan ganti untung tanah untuk kelancaran kinerja perusahaan.
"Rumah dan kendaraan saya saja sudah tergadai demi menempuh jalur hukum, mencari pinjaman dana agar dapat memenuhi panggilan juga prosedur hukum yang ada, semua itu kan pakai biaya. Makanya saya tetapkan nilai segitu. Perlu digaris bawahi 12 tahun mereka gunakan tanah kami secara gratis," pungkasnya.
Bahkan, acap kali Poktan TDB meminta bukti legalitas yang mereka (PT KPC) punya, mereka selalu menantang Poktan TDB ke meja hijau.
"Kami ikuti aturan, kami patuhi tiap alurnya sampai akhirnya putusan KABUL keluar. Saya tahu meskipun salinan itu belum sampai ke saya tapi dari putusan online saya dan kelompok menang, bahkan Oktober lalu saya bersama tim ke Jakarta menyambangi Kantor MA demi mengetahui putusan itu," bebernya.
"Tawar menawar itu wajar. Ibarat jual baju jika harga baju disebuah toko itu mahal dan uang kita tidak cukup apakah kita akan memaksa agar penjualnya menurunkan harga sesuai dana yang kita punya. Pun demikian bila kita sudah memakai barang seseorang tanpa izin dan kemudian kita dituntut untuk menggantinya maka kita harus siap," sambung Pungkas.
Ia pun berharap keadilan bagi masyarakat yang yang direbut haknya oleh perusahaan.
"Bisa dihitung 12 tahun mereka gunakan tanah kami untuk bisnisnya, bayangkan berapa keuntungan besar yang mereka terima diatas penderitaan kami," tandasnya.
Kelompok wartawan yang tergabung di PJS berupaya menghubungi PT KPC, General Manager External Affairs & Sustainable Dev PT KPC, Wawan Setiawan namun masih belum bisa ditemui. Kami akan berusaha meminta keterangan ke pihak PT KPC terkait kasus ini dan akan memuatnya dalam berita jaringan PJS sebagai bentuk perimbangan dan hak jawab dari pihak perusahan.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan terkait pembebasan lahan, pemerintah sudah tak lagi menerapkan sistem ganti rugi selama kepemimpinannya. Sistem yang dijalankan adalah ganti untung. Hal inilah yang harusnya dipakai perusahaan dalam menyelesaikan konflik lahan dengan masyarakat. ***