Ketua MPR RI, Bamsoet Soesatyo saat menghadiri Peluncuran 58 Judul Buku Dalam Rangka Hari Jadi ke-58 Lemhannas di Jakarta, Sabtu (20/5/23) |
Jakarta, pelitatoday.com - Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo mengingatkan kebijakan pertahanan dan keamanan negara pasca perang dingin tidak lagi berfokus pada isu persaingan ideologis blok barat dan timur. Arus demokratisasi dan interdependensi, serta isu lingkungan turut memegang peranan penting dalam mengubah pola interaksi antar negara. Dimana semuanya terangkai dalam konstruksi globalisasi sebagai impuls utamanya.
"Perubahan fokus isu secara signifikan mengubah peta geopolitik dan geostrategi hampir di seluruh kawasan. Diikuti instabilitas yang potensial menjadi ancaman bagi eksistensi sebuah negara. Kondisi tersebut memaksa seluruh negara untuk menata ulang sistem keamanannya. Isu keamanan menjadi lebih komprehensif dan berorientasi global," ujar Bamsoet usai menghadiri Peluncuran 58 Judul Buku Dalam Rangka Hari Jadi ke-58 Lemhannas di Jakarta, Sabtu (20/5/23).
Dua judul buku yang diluncurkan diantaranya buku 'Indonesia Menghadapi Geo V' karya Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto dan buku 'Geopolitik Bung Karno' karya Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Hadir antara lain Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono, Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, MenPAN-RB Abdullah Azwar Anas, Menhub Budi Karya Sumadi serta Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menuturkan, saat ini dunia sedang menghadapi perang generasi kelima (G-V) berupa peperangan siber dan informasi. Sebagaimana diketahui, evolusi peperangan dunia sudah melalui lima generasi. Pada perang generasi pertama, dunia dihadapkan pada peperangan padat manusia, seperti pada saat penjajahan kolonial.
Perang generasi 2 dihadapkan pada manuver dan tembakan serta alat berat militer lainnya, seperti terjadi pada Perang Dunia I dan II. Perang generasi 3 dihadapkan pada padat teknologi seperti yang terjadi pada perang Teluk. Sementara pada perang generasi 4 berupa Peperangan Asimetris dengan menggunakan kekuatan non militer.
"Bangsa Indonesia harus siap menghadapi berbagai tantangan dunia digital, seperti Metaverse yang dapat mengancam keamanan, pertahanan, dan kedaulatan Indonesia. Karena itu, sangat penting bagi aparat keamanan untuk dapat menguasai artificial intelligence, cloud computing, hingga blockchain. Terlebih, dunia saat ini sedang menghadapi perang generasi kelima berupa peperangan siber dan informasi di dunia digital atau yang dikenal juga dengan cyber warfare," kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum FKPPI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menambahkan, dengan menggunakan kekuatan siber yang dikendalikan dari jauh, sebuah negara bisa melumpuhkan objek vital negara lainnya, seperti pembangkit listrik, cadangan minyak, hingga operasional alutsista militer. Serangan siber juga bisa membuat jaringan telekomunikasi dan internet di negara lain mati total, digital perbankan kacau, radar militer maupun penerbangan sipil tidak bisa digunakan.
"Dunia pernah dihebohkan dengan berbagai kasus serangan melalui dunia digital. Semisal, pada 7 Mei 2021, terjadi serangan ransomware yang menargetkan jaringan pipa bahan bakar terbesar di Amerika Serikat. Pada 9 Februari 2022 terjadi serangan sim swapping yang menargetkan korban terkenal di Amerika Serikat. Pencurian tersebut diyakini mencapai USD 100 juta dalam bentuk kripto. Sementara pada 29 Maret 2022, dilaporkan serangan hacker berhasil mencuri aset kripto senilai lebih dari USD 615 juta atau sekitar Rp 8,8 triliun dari Ronin Network, sebuah sidechain dari blockchain Ethereum," urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Ketua Dewan Pembina SOKSI memaparkan, situasi geopolitik internasional juga sedang 'memanas'. Semisal, perang Rusia-Ukraina, ketegangan China-Taiwan, potensi konflik di semenanjung Korea, ketegangan Turki-Yunani yang dipicu oleh militerisasi kawasan laut Aegea, serta kehadiran militer China di kawasan Laut China Selatan yang dapat memantik ketegangan AS-China adalah sebagian dari beberapa isu yang dapat berpengaruh pada stabilitas geopolitik global.
"Pergeseran geopolitik global juga diwarnai oleh beberapa fenomena, di antaranya oleh ambisi China untuk menasbihkan diri sebagai pemimpin dunia pada tahun 2049. Untuk mewujudkan visi 2049 tersebut, salah satu upaya yang dilakukan China adalah menaikkan anggaran belanja untuk militer. Misalnya pada pada tahun 2021 anggaran belanja militer China mencapai 230 miliar Dollar AS. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Rusia sebesar 154 miliar Dollar AS, Inggris sebesar 68 miliar Dollar AS dan Jerman sebesar 50 miliar Dollar AS," pungkas Bamsoet. (*)