Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati. |
"Meskipun sudah ada peringatan dini untuk melakukan evakuasi, namun jika tidak didukung dengan pemahaman tentang mitigasi kebencanaan, kesadaran, ketrampilan, dan juga kemampuan respon yang cepat dan tepat, maka sistem peringatan dini tersebut akan gagal dalam mencegah terjadinya korban" ungkap Dwikorita dalam The Inagural Meeting of the Panel on Sosioeconomic Benefits (PSB) di Jenewa secara daring, Kamis (9/6/2023) malam.
Dwikorita menyebut, lemahnya antisipasi, mitigasi, dan peringatan dini bencana berpotensi besar mengancam keselamatan jiwa, serta kerugian ekonomi pun semakin besar. Terutama untuk negara-negara berkembang yang masuk dalam kategori
rawan bencana dengan intensitas dan frekuensi bencana yang tinggi.
Saat ini, kata dia, kondisi Planet Bumi semakin kompleks sehingga membutuhkan pengamatan dan data yang cepat, tepat, akurat, dan sistematis. Selain itu juga butuh inovasi teknologi yang mumpuni serta analis dan pemodelan yang handal. Untuk membangun sebuah sistem peringatan dini yang handal dan berkelanjutan, kondisi sosial, ekonomi, bahkan politik sebuah negara sangat berpengaruh.
"Situasi ini perlu menjadi perhatian bersama karena jika kesenjangan semakin melebar antara kemajuan teknologi dan kapasitas masyarakat untuk menguasai dan memahami teknologi tersebut, maka peran atau manfaat dari kemajuan teknologi tersebut menjadi kurang berarti" imbuhnya.
Solusinya adalah dengan pendekatan literasi dan edukasi masyarakat agar lebih mampu memahami dan memanfaatkan data dan informasi yg dihasilkan oleh teknologi yang moderen/canggih, sehingga mampu melakukan respon secara cepat dan tepat terhadap Peringatan Dini yang disampaikan. Dalam forum WMO tersebut, Dwikorita kemudian mencontohkan konsep Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) yang diselenggarakan BMKG, guna meningkatkan literasi masyarakat tentang cuaca dan iklim. SLCN ini, kata dia, merupakan upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan Indonesia, berbiaya murah namun memiliki dampak yang cukup signifikan.
“Salah satu success story dari diadakannya SLCN tersebut adalah pada saat terjadinya Siklon Seroja yang menghantam Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Salah satu alumnus SLCN menjadi penyelamat warga desa setelah menerima informasi peringatan dini melalui pesan berjejaring Whatsapp," terangnya.
"Usai menerima pesan, warga desa langsung diungsikan ke gedung sekolah dan perahu- perahu dipindahkan ke tempat yang aman agar selamat dari gulungan ombak.
Tanpa pengetahuan yang memadai dan respon yang cepat, maka informasi peringatan dini yang disampaikan tentu akan menjadi sia-sia," tambah dia.
Ditegaskan Dwikorita, semakin baik mitigasi yang disiapkan, maka akan semakin efisien pemanfaatan anggaran dan semakin besar juga harta serta nyawa yang dapat diselamatkan. Maka dari itu, lanjut dia, literasi masyarakat tentang kebencanaan perlu ditingkatkan untuk menekan risiko bencana seminimal mungkin.
"Semua pihak harus ikut terlibat, tidak hanya pemerintah, namun juga akademisi, masyarakat atau komunitas, organisasi masyarakat, media, hingga badan atau pelaku usaha harus berkolaborasi untuk terus meningkatkan literasi dan kapasitas masyarakat dalam mitigasi dan merespon peringatan dini bencana," imbuhnya.
Khusus sektor swasta, menurut Dwikorita, keterlibatannya masih relatif minim sehingga harus terus didorong. Indonesia, tambah Dwikorita, menginisiasi lahirnya sertifikasi standard internasional atau ISO untuk sektor industri/swasta terkait Panduan Standar untuk Peringatan Dini Bencana dengan pelibatan aktif komunitas masyarakat. ISO tersebut, kata dia, merupakan instrumen sosial ekonomi yang strategis untuk akselerasi terwujudnya ketangguhan masyarakat berbasis sinergi peran swasta dan komunitas masyarakat. RED