Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN), Universitas Borobudur, Universitas Terbuka (UT) dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA). |
Kewajiban negara-bangsa bagi pembangunan jiwa-raga segenap warga negara sudah ditegaskan dalam Pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Pasal ini menetapkan perintah kepada negara untuk peduli pada komunitas warga yang lemah dan berkekurangan, dengan kewajiban memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar agar kebutuhan dasar mereka terpenuhi dan dapat hidup layak seturut martabat kemanusiaan.
Kewajiban negara itu sudah dilaksanakan dari waktu ke waktu melalui aneka program pembangunan berkelanjutan. Komitmen untuk melaksanakan kewajiban itu pun terus diperbarui, antara lain dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Hasil atau progresnya bisa dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Sebagaimana telah dilaporkan, sepanjang periode 2010-2022, IPM Indonesia rata-rata meningkat sebesar 0,77 persen per tahun.
Kerja dan kepedulian terhadap masalah ini tentu saja patut diapresiasi. Apalagi, dilaporkan juga bahwa semua dimensi pembentuk IPM mengalami peningkatan, terutama umur panjang, hidup sehat serta standar hidup layak. Harapan hidup bayi membaik. Begitu juga dengan peluang untuk mengenyam pendidikan atau bersekolah. Kehidupan layak berdasarkan pengeluaran ril per kapita pun dilaporkan terus membaik.
Namun, kewajiban dan pekerjaan negara membangun manusia Indonesia itu, hingga kini, belum dapat dituntaskan. Itu sebabnya, di setiap lingkungan kehidupan bersama hingga hari-hari ini, masih ada bayi kurang gizi (stunting), anak usia sekolah yang putus sekolah karena beberapa alasan, hingga masalah kematian ibu dan bayi.
Masalah seperti itu umumnya dialami atau dihadapi oleh warga negara yang berkekurangan atau lemah dari aspek ekonomi. Demikian lemahnya sehingga mereka tak mampu untuk sekadar memenuhi kecukupan standar gizi atau membiayai kebutuhan sekolah. Negara harus selalu hadir – bahkan boleh melakukan intervensi-- untuk mengatasi persoalan ini agar tidak ada warga negara atau komunitas yang terpaksa ditinggalkan oleh percepatan proses pembangunan yang menjadi tuntutan perubahan zaman.
Ketika peradaban sudah mencapai era digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan seperti sekarang ini, model persoalan seperti bayi kurang gizi, anak putus sekolah hingga persoalan yang melatarbelakangi kematian ibu dan bayi idealnya bisa diminimalisir oleh tindakan atau kebijakan intervensi negara. Bahkan negara pun hendaknya memrioritaskan masalah ini agar tidak ada komunitas yang tertinggal – apalagi terabaikan – di tengah percepatan proses pembangunan berkelanjutan sebagai tanggapan atas perputaran roda perubahan zaman.
Model persoalan ini bisa ditangani dengan baik sejauh ada kehendak baik, kepedulian, dan kesungguhan dalam menjangkau mereka yang lemah dan berkekurangan, karena mereka ada di setiap lingkungan kehidupan bersama. Bisa tertangani dengan baik karena negara mampu serta memiliki daya dan infrastruktur untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ini.
Masalah kematian ibu dan bayi menjadi indikator yang menggambarkan baik-buruknya wajah kesehatan suatu negara. Di Indonesia, sebagaimana pernah diungkap oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka kematian ibu dan bayi ada di peringkat tiga besar dalam lingkungan ASEAN. Berdasarkan data Sensus Penduduk 2020, angka kematian ibu melahirkan mencapai 189 per 100 ribu kelahiran hidup. Sedangkan kematian bayi tercatat mencapai 16,85 per 1.000 kelahiran hidup.
Masalah stunting tetap menuntut perhatian lebih. Langkah Kemenkes dengan 11 intervensi spesifik patut diapresiasi. Angka stunting di Indonesia dilaporkan telah mengalami penurunan, dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 21,6 persen pada 2022. Tahun 2024 ini, angka stunting ditargetkan turun menjadi 14 persen.
Tantangan riil tentang persoalan stunting bisa dilihat dari hasil survei oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2022. Survei itu menemukan 21 juta keluarga berisiko stunting. Masih menurut BKKBN, jumlah balita berisiko stunting di Indonesia pada 2022 sekitar 4,7 juta jiwa. Sudah barang tentu bahwa potensi masalah ini terdapat di semua daerah. Maka, semua Pemerintah daerah didorong untuk peduli dan lebih bersungguh-sungguh menangani masalah ini.
Tidak kalah pentingnya adalah memberi perhatian dan peduli pada persoalan anak putus sekolah. Penyebab utama dari kasus anak putus sekolah adalah ekonomi keluarga yang lemah dan berkekurangan. Menurut data Susenas yang diolah Bappenas tahun 2022, anak usia sekolah (7-18 tahun) yang tidak bersekolah mencapai 4.087.288 anak. Jumlah ini menggambarkan peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2021 yang jumlah mencapai 3.939.869 anak.
Dari rinciannya, didapatkan data bahwa sebanyak 491.311 anak usia sekolah drop out pada tahun ajaran baru. Dan, sebanyak 252.991 anak putus sekolah di tengah jenjang, serta 238.320 anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi pada tahun ajaran baru. Selain itu, tercatat tak kurang dari 3.356.469 anak usia sekolah sudah drop out pada tahun-tahun ajaran sebelumnya.
Gambaran di atas, plus rangkaian data ini, patut dikedepankan untuk memberi penegasan bahwa kewajiban negara membangun segenap jiwa-raga warga negara belum tuntas. Negara harus lebih agresif melakukan intervensi guna meminimalisir masalah stunting, anak putus sekolah hingga persoalan kematian ibu dan bayi. Mereka yang lemah dan berkekurangan hendaknya tidak boleh tertinggal oleh perubahan zaman, apalagi terabaikan. **