Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. |
"Tidak ada alasan untuk mereka yang lemah secara sosial dan ekonomi serta minim literasi hukum kemudian harus menjadi korban hukum yang membabi buta. Keberadaan advokat, khususnya anggota KAI, harus berdiri tegak memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan di atas Republik Indonesia tercinta ini," ujar Bamsoet dalam sambutan secara daring pada Kongres ke-IV Kongres Advokat Indonesia (KAI), Minggu di Solo (9/6/24).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini memaparkan, munculnya kasus-kasus ketidak-adilan dalam penyelenggaraan hukum, baik yang bersifat pidana maupun perdata pada akhirnya akan membuat legitimasi negara hukum jatuh dihadapan rakyat. Hal ini lah yang menjadikan rakyat akan lebih memilih jalan kekerasan untuk mengakhiri masalah hukum yang dihadapinya karena rakyat tidak yakin bahwa penegakan hukum dapat berjalan.
Kekerasan dalam bentuk apapun, bukanlah solusi yang dapat dibenarkan dalam menyelesaikan masalah. Sebaliknya, kekerasan hanya akan memperparah situasi dan menciptakan “lingkaran setan” yang sulit diputus. Tindakan kekerasan juga melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan yang seharusnya kita junjung tinggi.
"Namun, kita juga tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu pemicu utama timbulnya kekerasan. Ketika rakyat merasa bahwa hukum tidak berpihak pada mereka, atau bahkan tidak mampu memberikan keadilan, rakyat akan cenderung mengambil jalan pintas yang destruktif," kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (PADIH-UNPAD) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menjelaskan, hal yang sama juga menjadi catatan dari world bank, bahwa iklim investasi bangsa Indonesia akan sangat bergantung dengan persepsi para investor terhadap kepastian hukum dan perlindungan hak-hak investor minoritas di tengah roda bisnis perekonomian. Indonesia menempati peringkat ke-73 dari Easy Doing Business Index pada tahun 2023, dengan salah satu penilaian terburuknya adalah Enforcing Contract yang menempati peringkat 139 dari 190 negara. Dengan komponen penilaiannya adalah waktu, biaya dan kualitas sistem peradilan.
"Hal ini menjadikan investasi seret untuk masuk ke Indonesia, meskipun kita merupakan negara dengan PDB terbesar di kawasan Asia Tenggara, dan tentu kekayaan serta potensi sumber daya alam, sumber daya manusia hingga kekayaan intangible kita luar biasa besar. Tetapi kita harus pasrah dengan kenyataan bahwa investasi yang masuk terseok-seok," urai Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, pada akhir 2023, Kementerian Investasi menyebutkan nilai investasi di Indonesia adalah sebesar Rp 1.147 triliun, atau senilai 88,6 miliar US dollar bila dihitung secara perkapita dengan 270 juta jiwa, maka hanya mencapai 328 US dollar per kapita. Sedangkan Singapura dengan penduduk 5,6 juta jiwa nilai investasinya mencapai 151 miliar US dollar atau 26,964 US dollar per kapita atau 82 kali dari total investasi kita secara per kapita.
"Situasi ini tidak dapat kita pungkiri, Singapura masih menempati nomor 2 dalam Easy Doing Business Index dan menempati nomor 1 dalam proses enforcing contract sehingga kepercayaan investor terhadap negaranya luar biasa besar meskipun tidak memiliki sumber daya alam yang cukup. Hal ini menjadi catatan kita bersama bahwa kualitas penegakan hukum menjadi pondasi utama bagi perkembangan perekonomian suatu negara," pungkas Bamsoet. (*)