Ketua MPR RI, Bamsoet Soesatyo saat memberikan keterangan kepada wartawan. |
Para pemimpin di tingkat nasional hingga daerah, dari mulai presiden, gubernur, hingga bupati, dan walikota, serta para anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, walaupun dipilih oleh rakyat, namun terlebih dahulu harus mendapatkan "tiket" dari partai politik. Begitupun dengan posisi menteri maupun kepala lembaga negara lainnya yang tidak lepas dari peran partai politik.
"Setiap warga negara harus aktif dalam partai politik, sehingga partai politik bukan hanya milik segelintir kelompok. Semakin banyak orang yang terlibat dalam partai politik, maka akan membuat kehidupan kepartaian khususnya dalam hal rekrutmen politik menjadi baik. Jangan takut dan jangan ragu untuk berpartai, karena dengan berpartai kita telah turut membaktikan diri dalam pembangunan kebangsaan," ujar Bamsoet dalam orasi perayaan HUT ke-46 FKPPI, di Jakarta, Kamis (12/9/24).
Hadir para pengurus FKPPI antara lain, Ketua Umum Pontjo Sutowo, Wakil Ketua Umum Indra Bambang Utoyo, Sekretaris Jenderal Anna R Legawati, Bendahara Umum/Komisaris Utama PT ASABRI Fary Djemi Francis, dan Ketua Bidang Industri dan Konstruksi/Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa RI (LKPP RI) Hendrar Prihadi, Tubegus Haryono, Didit Haryadi, Mayjen TNI (P) Dewa Rai dan lain-lain.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini juga menyoroti berbagai permasalahan dalam tata nilai, tata sejahtera, dan tata kelola di Indonesia. Di tata nilai, misalnya, pemilihan langsung ternyata masih menyisakan berbagai permasalahan. Salah satunya moral hazard akibat maraknya politik uang. Sudah bukan menjadi rahasia, bahwa untuk memenangkan Pemilu maupun Pilkada tidak cukup hanya dengan kapabilitas dan integritas, melainkan juga harus didukung dengan "isi tas/uang".
Pada akhirnya membuat partai politik dan para calon maupun rakyat pada umumnya terjebak dalam demokrasi angka-angka, yang menjurus kepada demokrasi komersialisasi dan kapitalisasi, dan berujung kepada demokrasi oligarki. Pada akhirnya juga menyebabkan tata sejahtera perekomian menjadi karut marut, seperti terlihat dari masih lebarnya ketimpangan ekonomi.
"Menurut laporan World Inequality Report (WIR), 1 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai 30,16 persen dari total aset rumah tangga secara nasional pada 2022. Sementara, kelompok 50 persen terbawah di Indonesia hanya memiliki 4,5 persen dari total kekayaan rumah tangga nasional," jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, maraknya politik uang juga menyuburkan perilaku koruptip, yang membuat tata kelola pemerintahan menjadi terhambat. Tak bisa dipungkiri bahwa reformasi birokrasi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan.
"Skor tata kelola pemerintahan Indonesia dinilai melalui beberapa indikator internasional, seperti Worldwide Governance Indicators (WGI). Beberapa aspek penting yang dinilai termasuk stabilitas politik, efektivitas pemerintahan, kualitas regulasi, supremasi hukum, dan pengendalian korupsi. Berdasarkan data terbaru, kinerja Indonesia di bidang tata kelola menunjukkan hasil yang beragam. Skor Indonesia untuk Open and Accountable Governance berada di angka 0,47 dalam skala 0 hingga 1, yang mencerminkan kinerja yang sedang, tetapi masih membutuhkan perbaikan," pungkas Bamsoet. (*)